Luka Perineum Gangguan Haid dan Siklusnya

File pc ancha.com : Mari Kita membahas tentang Luka Perineum Gangguan Haid dan Siklusnya :
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindari atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat.
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arcus pubis lebih kecil daripada biasanya sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dan biasanya, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum frensia suboksipito-bregmatika.

• Tingkat I
Pada tingkat I ini perlukaan perineum hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum.
• Tingkat II
Pada tingkat II perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital.
• Tingkat III
Pada tingkat III perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang menyebabkan muskulus spingter ani ekternum terputus di depan.

Pada umumnya perlukaan perineum terjadi pada tempat dimana muka janin menghadap robekan perineum dapat mengakibatkan pula robekan jaringan pararektal, sehingga rekturm terlepas dari rektum terlepas dari jaringan sekitarnya. Diagnosis ruptura perineum ditegakkan dengan pemeriksaan langsung. Pada tempat terjadinya perlukaan akan timbul perdarahan yang bersifat arterial atau yang merembes. Dengan dua jari tangan kiri luka dibuka, bekuan darah diangkat, lalu luka dijahit secara rapi.
Pada perlukaan tingkat I, bila hanay ada luka lecet, tidak diperlukan penjahitan. Pada perlukaan tingkat II, hendaknya luka dijahit kembali secara cermat. Lapisan otot dijahit simpul dengan kargut kromik No. 0 atau 00, dengan mencegah terjadinya ruang mati. Adanya ruang mati antara jahitan-jahitan memudahkan tertimbunnya darah beku dan terjadinya radang. Lapisan kulit dapat dijahit dengan benang katgut atau sutera secara simpul, jahitan hendaknya jangan terlalu ketat, sebab beberapa jam kemudian di tempat perlukaan akan timbul edema.

Penanganan Perlukaan perineum Tingkat III
Pada perlukaan tingkat III memerlukan teknis penjahitan khusus. Langkah pertama yang terpenting ialah menemukan kedua ujung muskulus spingter ani eksternum yang terputus. Kedua ujung otot dijepit dengan cunan ains, kemudian dijahit dengan benang katgut kromik no. 0 atau 00 sehingga kontinuitas sfingter terbentuk kembali. Jahitan pada ujung-ujung otot sfingter hendaknay dibenamkan ke arah mukosa rektum. Selanjutnya, penjahitan jaringan dilakukan seperti pada penjahitan luka perineum tingkat II. Ketegangan sfingter dinilai dengan memasukkan jari ke dalam rektum. Perlukaan pada waktu persalinan sebenarnya dapat dicegah. Keterampilan melahirkan kepala janin sangat menentukan sampai seberapa jauh terjadi perlukaan, untuk mencegah terjadinya perlukaan yang tidak terarah dengan bentuk yang tidak teratur, dianjurkan melakukan episiotomi.
Pada perlukaan tingkat III yang tidak dijahit misalnya pada persalinan yang ditolong dukun akan terjadi inkontinensia alvi. Pada keadaan ini diperlukan waktu sekurang-kuranngya 3-6 bulan pasca persalinan, sebelum luka perineum yang tua ini dapat dijahit.


Definisi
Prinsip tindakan episiotomi adalah pencegahan kerusakan yang lebih hebat pada jaringan lunak akibat daya regang yang melebihi kepastian adaptasi atau elastisitas jaringan tersebut.

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah robekan perineum antara lain:
• Aplikasi handuk hangat pada perineum
• Fasilitas fleksi kepala bayi agar tidak menyebabkan regangan mendadak
• Mengarahkan kepala agar perineum dilalui oleh diameter terkecil saat ekspulsi
• Menahan perineum dengan regangan telunjuk dan ibu jari.

1. Fasilitasi untuk persalinan dengan tindakan / menggunakan instrumen
2. mencegah robekan perineum yang kaku / diperkirakan tidak mampu beradaptasi terhadap regangan yang berlebihan (Misalnya : bayi yang sangat besar/makrosomia)
3. Menengah kerusakan jaringan pada ibu dan bayi pada kasus letak/presentasi abnormal (bokong, muka, ubun-ubun kecil dibelakang ) dengan menyediakan tempat lebih luas untuk persalinan yang aman.

1. Episiotomi mediana, merupakan insisi yang paling mudah diperbaiki, lebih sedikit perdarahan, penyembuhan lebih baik dan jarang menimbulkan dispareuni. Episiotomi jenis ini dapat menyebabkan ruptur perinei totalis.
2. Episiotomi mediolateral, merupakan jenis insisi yang baik banyak digunakan karena lebih aman.
3. Episiotomi lateral, tidak dianjurkan karena hanya dapat menimbulkan sedikit relaksasi introitus, perdarahan lebih banyak dan sukar direparasi.
Teknik Episiotomi
Anestesi lokal : suntikan 5 ml prokain 1-2% di bawah kulit perineum terus ke jaringan dibawahnya.
• Saat perineum sudah sangat tipis atau diameter pembukaan vulva 4-5 cm bertepatan dengan his, rapatkan jari II dan III tangan kiri, masukkan antara kepala janin dan dinding vagina menghadap penolong. Pegang gunting episiotomi dengan tangan kanan lalu masukkan secara terbuka dengan perlindungan jari II dan III yang telah masuk. Insisi dengan gunting tajam pada garis tengah atau lem dari garis tengah ke lateral.
Jahit luka episiotomi setelah plasenta lahir. Bila otot sfingter ani eksternus ikut robek, periksa adanta luka dinding rektum. Bila ada, jahit robekan dengan simpul catgut halus, lalu jahit otot sfingter ani eksternus dengan simpul cutgut kronik yang kuat.

Episiotomi biasanya dikerjakan pada hampir semua primipara atau perempuan dengan perineum kaku. Episiotomi bertujuan mencegah ruptur perineum dan mempermudah pemulihan luka.
Episiotomi dilakukan saat perineum telah menipis dan kepala janin tidak masuk kembali ke dalam vagina.

Robekan yang dalam sampai ke forniks,Robekan biasanya terdapat pada pinggir samping serviks,kadang-kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium.

Terjadi pada persalinan buatan sendiri seperti:

Adanya robekan serviks yang dalam harus selalu dicurigai pada kasus-kasus dengan perdarahan yang banyak selama dan sesudah kala III persalinan,khususnya bila uterus mengadakan kontraksi yang kuat

a. Robekan serviks harus diperbaiki bervariasi menurut derajat lesi
b. Jika laserasi hanya pada serviks atau meluas sampai Vorniks vagina,hasil yang memuaskan tetap diperoleh jika serviks yang keluar direposisi dan dijahit
c. Penjahitan dimulai pada sudut atas luka baru kemudian melakukan penjahitan ke arah luar
d. Pasang tampon untuk menghambat perdarahan, sementara laserasi serviks diperbaiki.

Hal-hal yang harus diperhatikan
a. Jahitan yang terlalu berlebihan dapat mengakibatkan stenosis selama proses involusi uterus
b. Selalu gunakan tekhnik aseptik dan antiseptik
c. Berikan asuhan sayang ibu


Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan dengan speculum. Perdarahan biasanya banyak, tetapi mudah diatasi dengan jahitan. Kadang-kadang robekan bagian atas vagina terjadi sebagai akibat menjalarnya robekan serviks. Apabila liagmentum latum terbuka dan cabang-cabang arteria uterine terputus, timbul banyak perdarahan yang membahayakan jiwa penderita. Apabila perdarahan demikian itu sukar dikuasai dari bawah, terpaksa dilakukan laparotomi dan liagmentum latum dibuka untuk menghentikan perdarahan, jika hal yang terakhir ini tidak berhasil, arteria hipogastrika yang bersangkutan perlu diikat.


Kolpaporeksis ialah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini terjadi apabila pada persalinan dengan disproporsi sefalopelvik terjadi raegangan segemen bawah uterus dengan serviks uteri tidak terjepit antara kepala janin dan tulang panggul, sehingga tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina, jika tarikan ini melampaui kekuatan jaringan terjadi robekan vaginan pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang lebih bawah dan yang berfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporkesis juga bisa timbul apabila pada tindakn pervaginam dengan memasukkan tangan penolong ke dalam uterus dibuat kesalahan, yang fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar supaya uterus jangan naik ke atas.



Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio sessarea. Fistula dapat terjadi mendadak karena perlukan pada vagina yang menembus kandung kencing atau rectum, misalnya oleh perforator atau alat untuk dikapitasi, atau karena robekan serviks menjalr ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung kencing luka, air kencing segera keluar melalui vagina. Fistula dapat juga terjadi karena dinding vagina dan kandung kencing atau rectum tertekan lama antara kepala g tertekan. Setelah lewat beberapa hari postpartum, jaringan nekrosis terlepas, terjadilah fistula disertai inkontinensia. Fistula dpaat berupa fistula vesikovaginalis, atasu distula uterovesikovaginalis, kadang-kadang juga fistula uterovaginalis, atau juga fistula rektovaginalis. Bila ditemukan perlukan kandung kencing seetlah persalinan selesai, harus segera dilakukan penjahitan, lalu dipasang dauercatheter. Bjanin dan panggul, sehingga terjadi iskemia, akhirnya terjadi nekrosis jaringan yaniasanya disertai infeksi tidak bisa dijahit dengan segera.


Rupture uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus. Apabila robekan tidak terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas, hal itu dinamakan kolpaporeksis. Kadang-kadang sukar membedakan antara rupture uteri dan kolpaporeksis.


Yang dinamaksudkan ialah ruputura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus yang utuh (tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak maju karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin diregangkan. Pada suatu saat regangan yang terus bertambah melampaui batas kekuatan jaringan miometrium; terjadilah rupture uteri. Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya rupture uteri ialah mulitiparitas; di sini ditengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan robekan.


Sebelum terjadi rupture uteri umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala ruputura uteri membakar. Ia gelisah, pernapasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan nyeri terus menerus di perut bawah. Segmen bawah uterus tegang, nyeri pada perabaan dan lingkaran retraksi (Bandl) tinggi sampai mendekati pusat, ligamentra rotudnda tegang. Pada saat terjadinya rupture uteri penderita kesakitan sekali dan merasa seperti ada yang robek dalam perutnya; tidak lam kemudian ia menunjukkan gejala-gejala kolaps dan jatuh dalam syok. Pada waktu robekan terjadi perdarahan; pada ruptura uteri kompleta untuk sebagian mengalir ke rongga perut dan untuk sebagian keluar per vaginam. Seringkali seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut; pada pemeriksaan vaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba tinggi dalam jalan lahir. Pada rupture uteri inkompleta perdarahan yang biasanya tidak seberapa banyak, berkumpul di bawah pereitoneum atau menaglir keluar. Janin umumnya tetap tinggal di uterus. Pada pemeriksaan ditemukan seorang wanita pucat dengan nadi yang cepat dan dengan perdarahan pervaginam. Segera setelah rupture uteri terjadi, dan janin masuk ke dalam rongga perut, ia dapat diraba dengan jelas pada pemeriksaan luar dan disampingnya ditemukan uterus sebagian benda sebesar kepala bayi. Lambat laun perut menunjukkan meteorismus kadang-kadang disertai defense musculaire dan janin lebh sukar diraba. Pada rupture uteri kompleta kadang-kadang juga pada pemeriksaan vaginal, robekan dapat diraba, demikian pula usus dalam rongga melalui robekan.



Rupture uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma dari luar. Yang lebih sering terjadi ialah ruptura uteri yang dinamakan ruputra uteri violenta. Disini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptura uteri. Hal itu misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi. Berhubungan dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut di atas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar, perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi rupture uteri. Gejala-gejala uteri violenta tidak berbeda dari rupture uteri spontan.


Rupture uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea; peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma (miomektomi) dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi sesudah seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruputra uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya 4:1. hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Rupture uteri pada bekas parut seksio sesarea klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan mulai, sedang peristiwa tersebut pada parut bekas seksio sesarea profunda umumnya terjadi pada waktu persalinan. Rupture uteri pasca seksio sesarea bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan secara mendadak, melainkan lambat laun jaringan di sekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptura uteri. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptura uteri inkompleta. Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka dan timbul perdarahan yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika arteria besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok; janin dalam uterus meninggal pula.


Ruputura uteri merupakan peristiwa yang gawat bagi ibu dan lebih-lebih bagi anak. Apabila peristiwa itu terjadi di rumah sakit dan pertolongan dapat diberikan dengan segera, angka mortalitas ibu dapat ditekan sampai beberapa persen. Akan tetapi apabila seperti sering terjadi di Indonesia, penderita dibawa ke rumah sakit dalam keadaan syok dan karena persalinan lama menderita pula dehidrasi dan infeksi intrapartum, angka kematian ibu menjadi sangat tinggi. Dalam laporan beberapa rumah sakit besar di Indonesia angka itu berkisar antara 30% dan 46,4%. Janin umumnya meninggal pada rupture uteri. Janin hanya dapat ditolong apabila pada sat terjadinya rupture uteri ia masih hidup dan segera dilakukan laparotomi untuk melahirkannya.


Untuk mencegah timbulnya rupture uteri pimpinan persalinan harus dilakukan dengan cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan distosia; dan pada persalinan wanita yang pernah mengalami seksio sesarea atau pembedahan lain pada uterus. Pada persalinan dengan kemungkinan distosia perlu diamat-amati terjadinya regangan segmen bawah uterus dan apabila tanda-tanda itu ditemukan, persalinan harus diselesaikan dengan segera, dengan cara yang paling aman bagi ibu dan anak. Mengenai pencegahan ruptura uteri pada wanita yang pernah mengalami seksio sesarea, di beberapa negara terdapat pendapat bahwa sekali seksio, seterusnya seksio. Pendirian ini tidak dianut di Indonesia. Seorang wanita yang mengalami seksio sesarea untuk sebab yang hanya terdapat pada persalinan yang memerlukan pembedahan itu untuk menyelesaikan, diperbolehkan untuk melahirkan pervaginam pada persalinan berikutnya. Akan tetapi ia harus bersalin di rumah sakit, supaya diawasi dengan baik. Kala II tidak boleh berlangsung terlalu lama dan pemberian oksitosin tidak dibenarkan. Ketentuan bahwa tidak perlu dilakukan seksio sesarea ulangan pada wanita yang pernah mengalami seksio sesarea tidak berlaku untuk seksio sesarea klasik.
Di sini, berhubungan adanya bahaya yang lebih besar akan timbulnya rupture uteri, perlu dilakukan seksio sesarea. Malahan penderita hendaknya dirawat 3 minggu sebelum jadwal persalinan. Dapat dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio sesarea sebelum persalinan mulai, asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37 minggu. Apabila terjadi rupture uteri, tindakan yang terbaik ialah laparotomi. Janin dikeluarkan dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika janin sudah tidak dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak dilahirkan pervaginam, kecuali jika janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus

Keywords  :
Mengapa terjadi gangguan Luka Perineum Gangguan Haid, kenapa haid, bagaimana bisa haid, beberapa jenis tentang Luka Perineum Gangguan Haid, ciri ciri tentang Luka Perineum Gangguan Haid, pengamatan tentang Luka Perineum Gangguan Haid

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...