Konseling KB Berkualitas Belum Dipahami

Interaksi atau konseling yang berkualitas antara klien dan provider (tenaga medis) merupakan salah satu indikator yang sangat menentukan bagi keberhasilan program keluarga berencana (KB). Sangat mudah dimengerti jika hal itu membuat tingkat keberhasilan KB di Indonesia menurun.
Klien yang mendapatkan konseling dengan baik akan cenderung memilih alat kontrasepsi dengan benar dan tepat. Pada akhirnya hal itu juga akan menurunkan tingkat kegagalan KB dan mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
Untuk meraih keberhasilan tersebut, tentunya sangat diperlukan tenaga-tenaga konselor yang profesional. Mereka bukan hanya harus mengerti seluk-beluk masalah KB, tetapi juga memiliki dedikasi tinggi pada tugasnya serta memiliki kepribadian yang baik, sabar, penuh pengertian, dan menghargai klien.
Dengan demikian, konseling akan benar-benar menghasilkan keputusan terbaik seperti yang diinginkan oleh klien, bukan sekadar konsultasi yang menghabiskan waktu dan biaya.
Demikian benang merah diskusi bertema “Sudahkah Peserta KB Diperlakukan sebagai Klien?” yang diselenggarakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan John Hopkins University melalui Program KB dan Kesehatan Reproduksi (Starh) di Jakarta, Kamis (26/6).
Hadir antara lain Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Dr Siswanto Agus Wilopo PhD, Direktur PKBI Pusat Dr Zarfiel Tafar, Koordinator Nasional Starh dr Rusdi Ridwan MPH, dan staf Komunikasi dan Advokasi Starh Dian Rosdiana.
Siswanto mengatakan, di Indonesia, konseling yang berkualitas masih sangat minim dan bahkan sulit sekali menemukan klinik yang secara khusus menyediakan jasa konseling yang benar-benar memenuhi standar. Selain itu, ia menambahkan, ketidakseimbangan antara jumlah klien dan tenaga medis yang bertugas sebagai konselor juga akan mempengaruhi keberhasilan konseling.
Selain itu, ia juga menuturkan bahwa keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh kemahiran konselor dalam memerankan tugasnya. Ketika menghadapi klien, ia melanjutkan, seorang konselor hendaknya tidak beranggapan dialah yang terhebat sementara si klien tidak tahu apa-apa. Hal itu, justru akan memunculkan jarak dengan klien sehingga akan sulit terjalin interaksi yang sebenarnya sangat diperlukan dalam konseling.
Berkaitan dengan hal itu, Starh dan BKKBN memperkenalkan alat bantu pengenalan KB berupa flipchart dilengkapi dengan buku panduan bagi konselor. Dalam waktu dekat alat bantu dan buku panduan yang dirancang lebih interaktif itu akan diluncurkan dan disebarluaskan ke seluruh Indonesia.
Bidan Lebih Baik
Menurut Dian Rosdiana, dengan panduan tersebut diharapkan konseling akan benar-benar menjadi gerbang pertama yang dapat mengantar klien untuk memahami dan memilih alat kontrasepsi yang paling tepat. Ia juga mengatakan, selama ini belum banyak tenaga medis yang menyadari, kegagalan konseling juga berawal dari buruknya layanan para tenaga medis (konselor) itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian Starh tahun 2002 diketahui dari 373 klinik di Indonesia ternyata hanya tiga yang dapat dikategorikan memenuhi standar konseling. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur standar itu adalah kecakapan konselor dalam “melayani” klien, termasuk berinteraksi dan mengorek sebanyak mungkin masalah yang disembunyikan klien.
Zarfiel Taffal juga sependapat jika dalam konseling, klien cenderung akan menyembunyikan masalah sehingga kelihaian konselor akan menjadi penentu berkualitas tidaknya konseling itu. Namun, Zarfiel menekankan, konseling hendaknya tidak berorientasi pada efisiensi yang lebih mempertimbangkan faktor waktu, tetapi lebih kepada keefektifan yang mengutamakan pencapaian hasil terbaik.
“Karena itu dokter sebenarnya tidak cocok untuk menjadi konselor. Selain cenderung berorientasi pada efisiensi, dokter juga selalu menganggap klien yang datang kepadanya itu tidak tahu apa-apa. Yang lebih buruk lagi, dokter cenderung mendikte dan banyak menasehati klien sehingga pada akhirnya keputusan memilih alat kontrasepsi bukan atas kemauan klien tetapi karena saran dokter,” katanya.
Ia menambahkan, dibanding dokter sebenarnya bidan jauh lebih tepat untuk menjadi konselor. Meski harus diakui mereka pun masih memerlukan tambahan keahlian, terutama menyangkut pengetahuan psikologis, namun dalam banyak hal bidan memang memiliki kelebihan untuk memerankan tugas sebagai konselor.
“Di desa-desa terpencil biasanya hanya ada tenaga bidan yang bertugas di puskesmas. Masyarakat pun tampaknya memang lebih dekat dengan bidan. Selain lebih low profile, bidan juga lebih sabar dan mempunyai kedekatan yang baik dengan klien. Sepertinya, masih sulit menemukan dokter yang mampu menjadi konselor yang baik tanpa mempertimbangkan ‘jam terbang’ dan tarif konseling,” katanya. (HD/A-18)
 THANKS PLAND .

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...