A. KEPERCAYAAN BANGSA KOREA
Agama Budha masuk pertama kali ke Korea terjadi pada tahun 373 SM, ketika raja So-su-rim dari kerajaan Kokuryo menguasai seluruh belahan utara semenanjung Korea dan sebagian besar kawasan Mancuria. Agama Budha menjadi agama induk di Korea, sehingga kebudayaan Korea Kuno tidak bisa lepas dari agama Budha. Agama Budha sendiri mencapai puncak kejayaan di Korea selama 300 tahun pada masa kerajaan Silla bersatu yang didirikan pada tahun 668 SM. Wilayah teritorial kerajaan Silla bersatu meluas sampai ke garis yang menghubungkan Pyongyang dan Wong-san, dan beribukota di Kyong-ju. Pada masa Silla bersatu, agama Buddha menjadi agama nasional. Jika ditinjau dari peninggalan-peninggalan yang masih ada, kerajaan Silla sangat unggul dalam arsitektur agama Budha, di samping barang-barang keramik di masa kerajaan Kokuryo dan tulisan indah di masa kerajaan Lee.
Agama Budha merupakan rumus filsafat yang tinggi, karena bertujuan untuk memperoleh kebersihan jiwa dengan penolakan nafsu-nafsu duniawi dan menghindari adanya kebangkitan roh-roh jahat dan membawa roh-roh suci ke dalam Nirwana. Korea memiliki 6.700 kuil Budha, termasuk 1.600 candi besar dan kecil. Hampir di setiap kompleks candi dan kuil Budha di Korea terdapat sebuah kuil kecil yang terletak dekat dengan ruangan utama tempat sembahyang. Lukisan seorang tua yang berjanggut putih panjang dengan ditemani seekor harimau jinak menghiasi dinding kuil kecil tersebut. Lukisan tersebut mendapat pengaruh dari kepercayaan Tauisme. Sebenarnya sejak masuknya agama Budha ke Korea, sangat sedikit masyarakat yang mau bersembahyang, untuk itulah maka didirikan kuil kecil yang dapat digunakan untuk sembahyang. Karena menurut kepercayaan Tauisme, sembahyang di Kuil agar anak laki-laki atau suaminya lulus ujian. Melahirkan anak laki-laki, menjaga kesehatan anggota keluarga dan juga untuk menambah anggota keluarga. Dengan kepercayaan semacam itu, banyak orang yang mengunjungi candi dan mampir ke kuil kecil untuk sembahyang.
Terdapat sekitar 29 juta orang beragama Buddha di Korea. Hal ini bearti bahwa agama Budha merupakan agama terbesar di Korea, terbukti menurut penanggalan imlek, yakni tanggal 8 bulan keempat diperinagti hari lahirnya Budha Gautama. Agama Budha di Korea sendiri beraliran Mahayana. Rakyat Korea dikenal sangat cinta terhadap kesenian dan selalu berusaha untuk memahirkannya. Oleh karena itu, peninggalan-peninggalan kebudayaan agama Buddha memiliki sifat kesenian yang tinggi dan khas. Di antara peninggalan-peninggalan kebudayaaan agama Buddha di Korea selain arsitektur Buddha, ukiran patung-patung Buddha merupakan ciptaan yang sangat bermutu. Untuk itu, sampai sekarang rakyat Korea sangat membanggakan seni itu kepada masyarakat dunia.
Patung-patung Buddha mencapai puncak keindahannya pada masa Silla bersatu. Salah satu yang menjadi kebanggaan rakyat Korea adalah patung-patung batu dari batu granit yang terletak di gua kuil suci Sok-Gul-am di puncak gunung To-ham di kota Kyong-ju, ibu kota kerajaan Silla bersatu. Patung yang terbesar dan indah dan mengarah ke timur didirikan pada tahun 752. Rakyat menganggap patung tersebut adalah patung yang paling unggul di Korea. Pada tahun 1995, UNESCO menetapkan patung tersebut sebagi salah satu peninggalan kebudayaan manusia. Bahan-bahan yang digunakan untuk patung-patung Buddha ukuran besar di Korea adalah besi, perunggu, kayu yang disepuh emas, dan emas murni, di samping batu besar.Sementaraitu, patung-patung ukuran kecil dibuat dari perunggu, sepuhan emas, emas murni, atau tanah liat mengkilat.
Selain agama Budha, masyarakat Korea khususnya para ibu rumah tangga selalu sembahyang di hadapkan pada semangkuk air yang berisi air jernih yang diletakan di tempat suci di belakang rumah mereka. Setiap pagi hari, Ibu meletakan semangkuk air di belakang rumah dan bersembahyang dalam keadaa yang masih sepi. Mereka memanjatkan doa agar anggota keluarga di berikan kesehatan dan keselamatan serta keberhasilan suami dan anak-anakny dalam tugasnya masing-masing.
B. KEPERCAYAAN BANGSA JEPANG
Di Jepang, kebebasan beragama dijamin bagi semua orang berdasarkan Undang-undang Dasar, pasal 20 menyatakan bahwa “tidak satupun organisai agama dapat menerima hak istimewa dari Negara, dan tidak satupun dapat mempunyai wewenang politik apapun. Tidak seorangpun dapat dipaksa mengambil bagian dalam bagian dalam kegiatan, perayaan, upacara atau praktek agama”. Agama yang terbesar di Jepang adalah agama Budha, yang pada akhir tahun 1985 mempunyai 92 juta pemeluk dilanjutkan dengan agama Kristen, terdapat 1,7 juta orang kristen, orang Muslim berjumlah sekitar 155.000, termasuk orang bukan Jepang yang bermukim sementara di negeri ini. Agama asli masyarakat Jepang, yakni Shinto. Shinto merupakan agama yang berakar ada kepercayaan akan animisme. Biasanya masyarakat menyembah dewa-dewa rumah tangga dan dewa-dewa setempat. Pahlawan dan pemimpin yang terkemuka didewakan dan disembah. Agama Shinto mulai tidak diberi dukungan resmi ataupun hak khusus, setelah dikeluarkannya Undang-Undang Dasar setelah perang.
Alur masuknya agama Budha ke Jepang di mulai dari India berlanjut ke Cina dan Korea, berlangsung pada pertengahan abad ke enam, tepatnya pada tahun 538 M. Setelah memperoleh dukungan Kaisar, agama Budha disebarluaskan oleh para penguasa kesemua pelosok. Pada awal abad ke 9, agama Budha di Jepang memasuki periode baru, ketika agama ini secara khusus melayani kaum bangsawan istana. Pada periode Kamakura (1192-1338), suatu periode keresahan besar politik dan kekacauan sosial, muncullah banyak sekte baru budhis yang menawarkan harapan keselamatan baik kepada prajurit maupun kepada rakyat petani. Agama budha bukan hanya berkembang di Jepang sebagai agama tetapi juga banyak turut memperkaya kesenian dan ilmu pengetahuan.
Agama Budha di Jepang termasuk agama Budha Mahayana. Agama Budha Mahayana pada umumnya mengajarkan keselamatan di taman firdaus untuk semua orang ,bukan kesempurnaan perseorangan, dan mempunyai bentuk yang jauh berbeda dengan bentuk agama Budha yang ditemukan di bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Semua sekte agama Budha di Jepang dapat ditelusuri jejaknya pada cabang-cabang utama yang awal masuk ke Jepang, yakni Jodo, Joso Shin, Nichiren, Shingon, Tendai, dan Zen.
Religi Jepang mempunyai dua konsep dasar mengenai ketuhanan. Yang pertama adalah sebagai sebagai suatu entitas lebih tinggi yang memelihara, memberikan perlindungan dan cinta. Tindakan-tindakan religi yang ditunjukkan kepada entitas-entitas ini bercirikan sikap hormat, syukur atas rahmat yang diterima dari mereka, dan usaha-usaha untuk membalas rahmat tersebut. Yang kedua adalah bahwa dia merupakan dasar dari segala yang ada atau inti terdalam dari realitas. Kegiatan yang ditunjukkan kepada entitas-entitas ini adalah usaha para pengikut untuk mencapai kondisi menyatu dengan dasar dari segala yang ada dan hakikat realitas ini.
Keduanya hampir terdapat pada semua sekte. Misalnya konsep tentang alam merangkum kedua aspek sikap terhadap Tuhan tersebut. Alam adalah kekuatan pemeliharaan yang penuh kebajikan yang harus dihargai oleh manusia dan dia merupakan wujud dari sumber kejadian.manusia dapat masuk ke dalam inti reliatas dan menyatu dengannya melalui pemahaman atas bentuk-bentuk alam. Alam tidaklah terpisah dari para dewa atau manusia tetapi menyatu dengan keduanya. Manusia adalah makhluk penerima karunia tak terbatas dari tuhan, alam, para atasan, dan akan tak berdaya tanpa semua karunia tersebut.dia sekaligus adalah “alamiah” dan “ilahiah”. Dia adalah mikrokosmos dimana yang ilahi dan alam adalah makrokosmos. Dia adalah “bentuk kecil langit ddan bumi”, di dalam dirinya terkandung hakikat budha, atau tao, atau li , tau nuraninya (honsyin, ryoshin) tidaklah beda dari li. Jelaslah dari apa yang dipaparkan diatas bahwa sifat dasar manusia dianggap baik.
Dalam kehidupan nyata sifat dasar ini bisa jadi kabur oleh kotoran yang berupa kepentingan dan hasrat pribadi. Sifat jahat yang radikal cenderung diingkari ada pada manusia, alam, atau ketuhanan. Kejahatan dijelaskan sebagai sesuatu yang relatif, hanya nampaknya saja kejahatan tetapi dalam konteks yang lebih besar pada dasarnya bukan atau sebagai semacam “pergesekan” yang menyertai kehidupan keseharian atau “beban” yang disebabkan oleh adanya hakikat badaniah pada diri kita. Pergesekan atau beban ini membelokkan kita dari orbit alamiah kita yang sebenarnya. Tindakan membebaskan diri kita dari hasrat mementingkan diri akan memungkinkan hakikat diri kita mencapai tempatnya yang sesuai tanpa rintangan. Konsep kejahatan dari budha sebagai akibat dari tindakan moral dalam kehidupan sebelumnya juga banyak dianut di Era Tokugawa.
Budhisme di Jepang mengalami alur perkembangan yang serupa dengan yang dialami shinto. Walaupun sejak awal jelas terdapat sejumlah rahib budha yang tulus dan memahami religi mereka dalam pengertian yang lebih filosofis, sulit disangkal bahwa pengaruh budhisme pada abad-abad awal perkembangannya di Jepang lebih banyak disebabkan karena unsur magis yang dipunyainya. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak muncul gerakan-gerakan keagamaan, baik itu Shinto, Budha, maupun campuran agama. Mereka saling melakukan banyak kegiatan sosial dan budaya dalam lingkungan agamanya, dan ada juga yang mulai masuk dalam kegiatan politik yang subtansial.
Agama Kristen masuk ke Jepang oleh missionaris Jesuit Santo Fransiskus Xaverius pada tahun 1549. Pada akhir abad ke 16, di Jepang terjadi kerusuhan namun agama Kristen tetap berkembang dengan cepatnya. Karena pada masa itu masyarakat Jepang sedang kehausan akan lambang kerohaniaan baru mupun yang hanya menginginkan keuntungan dari perdagangan dan juga teknologi Barat, khususnya senjata api. Namun setelah Jepang berhasil di satukan pada akhir abad 16 ini, agama Kristen tidak lagi leluasa dalam penyebarannya. Karena di anggap subvertif terhadap ketertiban yang baru dicapai. Larangan ini berlangsung sampai pertengahan abad ke 19, saat Jepang kembali membuka diri terhadap dunia Internasional. Komposisi orang sendiri di Jepang yakni protestan sebanyak 981.000 orang dan Katholik sebanyak 457.000 orang. Sementara itu Kong Fu Tse masuk ke Jepang pada permulaan abad ke 6. Oleh masyarakat Jepang Kong Fu Tse dipandang sebagai kode pedoman akhlak, bukan sebagai agama. Hal ini berdampak pada pemikiran dan perilaku masyarakat Jepang, tetapi pengaruhnya semakkin berkurang sejak Perang Dunia II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar