Kesalahan Ketika Membeli Asuransi



KOMPAS.com - Perlahan, kesadaran akan pentingnya proteksi meningkat dalam masyarakat kita. Sayang, kesadaran ini kurang diiringi dengan pengetahuan tentang aneka produk asuransi. Keterbatasan informasi dan pengetahuan produk dan kurangnya penjelasan agen asuransi kerap mengakibatkan konsumen membuat kesalahan ketika membeli asuransi.

Kebanyakan orang tidak mengerti produk asuransi apa yang dibelinya. Ini adalah kesalahan yang sering saya temui. Jangankan mengerti bahwa pertanggungannya kurang, asuransi apa yang dibeli saja dia tidak paham,” kata Ligwina Hananto, perencana keuangan dari Quantum Magna Financial.

Ligwina pernah menjumpai seorang teman yang memiliki 17 polis asuransi. Polis yang banyak ternyata tak menjamin hidup seseorang terproteksi dengan baik. ”Banyak yang hanya membayar premi, menyimpan polis, lalu ketika mengajukan klaim, baru sadar jika asuransi yang dibelinya ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan,” ujar Freddy Pieloor, perencana keuangan dari Money n Love. Selain tidak paham produk apa yang dibeli, kesalahan paling umum yang dilakukan nasabah adalah membeli asuransi dengan uang pertanggungan di bawah yang diperlukan. Istilahnya underinsure. Kebanyakan orang cukup puas membeli asuransi dengan uang pertanggungan sebesar Rp 50 juta, Rp 100 juta, atau Rp 250 juta. Jangan keburu senang kalau sudah memiliki asuransi. Bayangkan jika pencari nafkah meninggal dan keluarga hanya mendapatkan uang pertanggungan sebesar Rp 250 juta, padahal pengeluaran per bulan sebesar Rp 10 juta. Uang itu hanya cukup untuk bertahan hidup selama dua tahun. Setelah itu bagaimana?

Berdasarkan survei, nilai pertanggungan asuransi jiwa di Indonesia hanya sekitar Rp 78 juta per polis per tahun. Padahal, kebutuhannya mencapai 10 kali lipatnya. Selisih uang pertanggungan dengan kebutuhan yang ada di Indonesia cukup besar. ”Jadi, pemegang polis asuransi jiwa di Indonesia mengalami underinsure yang besar,” kata Kepala Divisi Syariah AIA Ade Bungsu.

Tidak jarang pula kita membeli asuransi karena tidak enak menolak tawaran agen asuransi yang merupakan teman, kakak, adik, atau keluarga dekat lainnya. Padahal, asuransi yang kita beli belum tentu cocok dengan tujuan keuangan kita. Misalnya, membeli asuransi yang preminya mahal dengan uang pertanggungan ala kadarnya. Padahal, kebutuhan lain masih banyak yang harus dipenuhi. Jadi, penting sekali untuk menghitung besaran kebutuhan asuransi lalu membeli asuransi yang sesuai.

Membeli asuransi untuk anak Apakah anak Anda sudah dibelikan asuransi? Pertanyaan seperti ini biasa muncul ketika para orangtua berbicara tentang anak-anak mereka. Membeli asuransi dengan anak sebagai tertanggung merupakan hal yang tidak bijaksana.

Wah, apa lagi ini ? Tujuan membeli asuransi adalah untuk melindungi penghasilan sehingga jika kepala keluarga meninggal dan tidak dapat memberikan penghasilan lagi, keluarga yang ditinggalkan tetap terjamin. Maka, yang harus memiliki asuransi adalah orangtua agar jika terjadi risiko pada orangtua, kehidupan anak-anak terjamin. Orangtualah yang memiliki nilai ekonomis, bukan anak. Jika kehilangan anak, keluarga tidak kehilangan secara finansial, melainkan secara emosional.

Anak penerima manfaat Ketika membeli asuransi, kita pasti ditanya siapa penerima manfaat asuransi tersebut (beneficiary). Memang asuransi ini untuk memproteksi pendapatan orangtua agar anak tak telantar. Ternyata, mencantumkan nama anak di bawah umur sebagai penerima manfaat juga merupakan kesalahan. Lho? ”Untuk anak di bawah 18 tahun yang kedua orangtuanya meninggal dunia pada saat yang sama, ia mewarisi dari kedua orangtuanya. Untuk mengurus harta peninggalan orangtuanya tersebut, pengadilan agama akan menunjuk seorang wali untuknya. Untuk Muslim, wali ditunjuk oleh pengadilan agama setempat, untuk agama lain, wali ditunjuk oleh pengadilan negeri setempat,” ujar Dedek

Yuliona, seorang notaris. Bila nanti si anak menghendaki hartanya dijual atau perlu uang, wali tersebut bisa minta penetapan dari pengadilan negeri, tambahnya lagi.

Wali dapat merupakan saudara dekat. Itu pun jika walinya benar-benar memberikan uang itu untuk kepentingan si anak. Kalau si wali senang belanja, bisa- bisa uang pertanggungan asuransi orangtua menguap di mal.

Kesimpulan dari ilustrasi itu, orangtua yang membeli asuransi haruslah langsung menunjuk seorang wali. Tunjuklah wali yang dapat mengurus anak Anda jika Anda atau pasangan meninggal dunia. ”Menunjuk wali yang benar-benar jujur dan bertanggung jawab adalah hal penting,” imbuh Prita Hapsari Ghozie, perencana keuangan dari ZAPfinance.

Asuransi untuk ibu rumah tangga

Sebagian berpendapat, orang yang tidak bekerja, termasuk ibu rumah tangga, tidak perlu membeli asuransi. Seorang ibu rumah tangga memang tidak menghasilkan pendapatan bagi keluarganya. Namun, perlu diingat bahwa ibu rumah tangga berpotensi mengurangi pengeluaran keluarga.

Seorang ibu rumah tangga dapat berperan sebagai sopir pengantar anak ke sekolah, menjadi guru privat, guru berenang, juru masak, pengasuh anak, perawat, tukang kebun, pembersih rumah dan lainnya. Bayangkan jika si ibu tidak ada. Berapa besar pengeluaran yang harus ditanggung jika harus membayar sopir, guru privat, pengasuh anak, tukang kebun, atau pembersih rumah? Biaya inilah yang harus diperhitungkan ketika membeli asuransi jiwa untuk si ibu.

Bujangan beli asuransi

Asuransi jiwa terkait erat dengan upaya memproteksi penghasilan. Seorang bujangan yang tidak membiayai orangtua, saudara, atau keponakannya, alias tidak memiliki tanggungan secara ekonomi, tidaklah perlu membeli asuransi jiwa. Apalagi jika sudah memiliki investasi. Jika si bujang meninggal, tidak ada orang yang telantar karena tidak disokong secara finansial lagi olehnya. Ketika dia meninggal pun, biaya yang diperlukan hanyalah biaya pemakaman dan uang untuk membayar utang.

Namun, bujangan seperti ini memerlukan perlindungan asuransi cacat atau penyakit kritis. Jika suatu kali dia menderita sakit kritis atau cacat permanen sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya, uang pertanggungan dari asuransi dapat menjadi biaya hidup. Survei membuktikan, kemungkinan seseorang cacat tujuh kali lebih banyak dibandingkan dengan meninggal.

Tidak memberi tahu keluarga

Pada beberapa kebudayaan, berbicara soal kematian adalah hal yang tabu, sementara asuransi terkait dengan kematian. Beberapa orang memilih menyembunyikan polis asuransinya dan tidak memberi tahu keluarga jika dia memiliki polis asuransi. Hanya saja, jika itu dilakukan, ketika risiko meninggal terjadi dan kebetulan agen tak lagi berhubungan dengan nasabahnya atau sudah pindah ke bisnis lain, tetap saja keluarga si pemilik polis tidak menerima manfaat asuransi.

Polis tetap teronggok di tempat tersembuyi. Tidak dicairkan. Di beberapa perusahaan asuransi, batas akhir klaim asuransi jiwa adalah setahun setelah tertanggung meninggal. ”Di Allianz, pengajuan klaim meninggal selambatnya 60 hari setelah terjadinya risiko. Bila klaim diajukan lebih dari itu, harus ada alasan kuat dari termaslahat (penerima manfaat) mengapa baru diajukan. Bagian klaim akan menganalisis apakah klaim yang terlambat itu dapat disetujui atau tidak,” papar Handojo Kusuma, Deputi CEO Asuransi Allianz Life.

Jangan taruh polis di ”safety box”

Kesalahan lain yang mungkin dibuat adalah menyimpan polis asuransi di safety box di bank. Jika pemegang polis meninggal, akan sulit membuka safety box tersebut. Letakkanlah polis asuransi di tempat yang mudah ditemukan, misalnya dalam satu map. Jika terjadi kebakaran atau bencana alam, map tersebut dapat langsung diselamatkan. Hindarilah membuat kesalahan-kesalahan seperti ini karena manfaat yang seharusnya diterima akan berkurang.

sumber : kompas ekstra

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...