Sejarah Peta di Indonesia

Pulau Jawa, di pengujung abad ke-13. Raden Wijaya, salah seorang pemimpin Kerajaan Kediri, mempersembahkan sebuah peta kepada para penyerbu sebagai tanda menyerah. Demikian yang diutarakan artikel karya C.J. Zandvliet dalam Holland Horizon (1994) Volume 6 Number 1. Tulisan itu menyatakan bahwa catatan sejarah Cina yang disusun pada 1369 dan 1370 menyebut peristiwa itu terjadi pada saat penyerbuan tentara Yuan ke Jawa pada 1292-1293. Hal ini menunjukkan keberadaan sebuah peta administratif yang resmi dari Kerajaan Kediri. 

Sesungguhnya, budaya peta pada masyarakat di Indonesia relatif jauh ketinggalan dibandingkan dengan budaya peta di Jepang. Padahal, tradisi peta sudah dikenal di Indonesia sejak periode abad ke-14 dan ke-15. Sejak akhir abad ke-15, peta sudah mulai dicetak di Eropa dan dapat dikatakan bahwa penerbit dan ilmuwan Eropa mendominasi pembuatan peta sampai awal abad ke-20, ketika pelukisan dunia mulai dilakukan. 


Buku Early Mapping of Southeast Asia karya Thomas Suarez (1999) mencerminkan bagaimana kebanyakan penyajian peta dunia yang melukiskan dunia menurut pandangan orang Eropa. Buku ini tidak menyebutkan satu pun kartografer (orang yang bergerak di bidang pembuatan peta) di luar negara Eropa sebagai orang yang juga membuat peta dari suatu negara. 

Walaupun penduduk negara atau benua lain juga mampu membuat peta dan gambaran dari dunia, dengan mudah perannya diabaikan. Sementara itu, peta Indonesia pun "diterjemahkan" oleh para pembuat peta dari Eropa untuk memperbaiki peta dunia dan juga untuk menciptakan serta memperbaiki peta Indonesia. 

Dalam International Conference on the History of Cartography ke-7 di Washington, DC, Rachmat Kusmiadi menyampaikan bahwa pada abad ke-15 sudah ada peta situasi geografi daratan Sunda yang menggambarkan permukiman di Kampung Ciela dekat Bayongbong, daerah Garut, Jawa Barat. Menurut makalahnya yang berjudul A Brief History on Cartography in Indonesia (1977) itu, peta tersebut disajikan dengan cara pemintalan pada bahan kain putih dengan menggunakan tinta indigo yang biasanya digunakan untuk bahan pencelupan. Peta itu menyajikan unsur geografi seperti gunung, pegunungan, sungai, dan kampung dengan simbol yang unik, misalnya sungai disajikan dengan simbol berbentuk ular atau gunung dengan bentuk simbol segitiga. 

Sesungguhnya, peta Indonesia mulai digunakan sejak orang Portugis pertama kali datang ke Indonesia. Penjelajah dari Venezia, Ludovic Varthena, menyebutkan bahwa seorang mualim pribumi telah berlayar dari Kalimantan menuju Jawa pada 1505 dengan menggunakan peta sebagai petunjuk. Pada 1511, sebuah ekspedisi Portugis berlayar ke Pulau Jawa dan Maluku. Ahli kartografi Francisco Rodrigues, yang menyertai ekspedisi itu, membuat peta dari kepulauan dan perairan yang dikunjunginya. Selama ekspedisi, sejumlah mualim pribumi yang berpengalaman diikutsertakan sehingga akhirnya mereka melahirkan sebuah salinan peta. Gubernur Alfonso d'Albuquerque kemudian mengirimkan salah satu salinan atau kompilasi itu ke Portugis. 

Sekitar tahun 1540, Münster/Holbein memublikasikan peta Sumatra (Taprobana) untuk pertama kalinya. Peta ini memasukkan Java Minor sebagai Borneo yang terletak di sebelah utara Jawa (Java Major). Pada 1548, Gastaldi dan Ramüsio membuat peta "modern" Borneo yang posisinya mendekati kebenaran jika dibandingkan dengan peta Java Minor yang dibuat oleh Münster pada 1540. Peta Borneo yang dibuat oleh Gastaldi dan Ramüsio lebih detail, antara lain, karena ia memasukkan Gunung Kinibalu di dalamnya. Selain peta-peta tersebut, pada abad ke-16, sebuah peta lain yang perlu dicatat adalah peta Jawa yang dikenal sebagai Java Insula yang diterbitkan oleh Johannes Honter dari Kronstad pada 1561. Peta ini menunjukkan bagaimana Honter secara kritis menilai pengetahuan geografi yang selama ini digunakan, misalnya nama Sunda dan Japara yang terdapat dalam peta ini menunjukan bahwa Honter menggunakan informasi tersebut dari orang Portugis untuk menyusun petanya. 

Pada akhir abad ke-16, Belanda telah memiliki perdagangan yang kuat di Baltik dan Laut Tengah. Akibat ditutupnya semua pelabuhan di Portugis bagi orang Belanda, mereka memutuskan untuk mencoba dan menemukan jalan sendiri ke daerah rempah-rempah di Timur. Untuk mencapai tempat tersebut, mereka belajar segala sesuatu tentang perdagangan Asia serta jalur pelayaran dan geografi "Asia Portugis". Selain itu, Belanda berusaha mendapatkan satu set naskah peta yang dibuat oleh pembuat peta Spanyol, Bartolemeo de Lasso dan De Houtman bersaudara. Pada 1595, orang Belanda berlayar ke Timur dan tiba di Banten pada tahun berikutnya.
Batavia, kini Jakarta, menjadi pusat perdagangan, politik, dan navigasi Belanda. Sebuah kantor pemetaan ditempatkan di galangan kapal di Batavia. Dan para pembuat peta di kantor tersebut bekerja hanya untuk kepentingan VOC. 

Pada akhir abad ke-17, peta cetakan dan peta biasa mulai mencerminkan peningkatan sistematis peta perairan Indonesia. Pada 1685, dibuatlah peta Danckerts, yang sebagian berdasarkan karya para pembuat peta VOC di Batavia. Jika peta tersebut dibandingkan dengan peta Jawa, Java Insula (1561), jelas terlihat bahwa peta Danckerts lebih tepat dan terinci dalam menyajikan kepulauan Indonesia. Pada pertengahan abad ke-17, peta perairan Indonesia buatan Belanda menjadi standar, baik untuk orang Belanda maupun untuk para pesaing. Bukan hanya pembuat peta dari Inggris dan Prancis yang menggunakan dan menyalin peta buatan Belanda. Para navigator Bugis yang berpengalaman pun menggunakan peta tersebut. 

Pada abad ke-18, peranan militer bertambah penting dalam pembuatan peta Indonesia. Mereka mulai membuat peta topografi, antara lain, daerah sekitar Batavia dan Semarang. Francois Valentijn (1666-1727), seorang anggota misionaris, dalam menjalankan tugasnya memperoleh peta topografi dari beberapa kota di Jawa, antara lain Tanjung Bantam (Banten), Batavia (Jakarta), Cirebon, Mataram (Yogyakarta), Ponorogo, Surabaya, Pasuruan, dan Balambouang. F. de Haan pada 1780 menulis buku dengan judul Platen Album Oud Batavia yang mengisahkan sejarah Kota Batavia. Buku tersebut dilengkapi peta Kota Batavia tahun 1628, 1740, dan 1780 dan disajikan dalam bentuk hitam-putih. 

Pada 1782, Semarang membuka sekolah untuk mendidik tenaga teknik. VOC sangat memerlukan perwira angkatan laut yang bermutu serta surveyor (orang yang bergerak dibidang survei pemetaan) yang terampil dan sarjana teknik militer. Pembuatan peta topografi militer dan sipil dianggap sebagai salah satu jalan untuk mempertahankan dan memperluas pengawasan di seluruh daerah kekuasaan. Para pengajar dan siswa Sekolah Teknik di Semarang memulai pekerjaannya dengan pemetaan topografi daerah pantai timur Laut Jawa. Pemerintah Belanda menyadari bahwa memproduksi peta kepulauan Indonesia yang rinci adalah suatu tugas dan pekerjaan yang rumit. Ini berarti produksi setiap peta yang dihasilkan akan bergantung pada informasi yang diberikan oleh pemandu Indonesia atau pembuat peta. Keadaan ini berlangsung dari awal abad ke-17 sampai abad ke-19. 

Pada 1794, Laurie & White membuat chart dari pantai utara Jawa mulai Banten ke Batavia yang diturunkan dari peta manuskrip VOC. Empat tahun setelah pembuatan chart dari pantai utara Jawa, tepatnya pada 12 Oktober 1798, dibuat sebuah chart pulau-pulau Indonesia timur yang merupakan hasil perbaikan sedikit demi sedikit dari observasi yang dilakukan oleh Captain Robert Williams pada 1797 dan juga rekaman dari perjalanan James Cook dan William Dampier. Detail yang disajikan pada chart pulau-pulau Indonesia timur itu antara lain adalah Timor serta pulau tetangga kecil di sekitarnya seperti Pulau Semau dan Pulau Roti. Informasi yang disajikan adalah peringatan tanda bahaya untuk navigasi laut dan petunjuk lain untuk kapal yang berlayar di sepanjang pantai Timor. 

Pada pertengahan abad ke-19, orang Indonesia mulai memainkan peran yang penting dalam pembuatan peta. Peran sebagai pemberi informasi berubah menjadi sebuah peran yang lebih aktif dalam survei dan pembuatan peta. Pada 1850-an, pemuda Jawa dari keluarga bangsawan mulai bekerja pada Dinas Topografi. Dan mulai 1899, lebih banyak lagi orang Indonesia yang dididik sebagai ahli topografi. Pada pertengahan abad ke-20, Dinas Topografi mempekerjakan lebih dari 500 orang (sebagian besar orang Indonesia) untuk membuat peta topografi Indonesia, sehingga Dinas Topografi telah melahirkan ribuan peta topografi. Pada 1938, Dinas Topografi menerbikan sebuah karya besar, yaitu Atlas van Tropisch Nederland. Peta Indonesia yang rinci karya Dinas Topografi dan lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta, kemudian digunakan sebagai peta dasar untuk pembuatan dan penerbitan atlas sekolah. 

Pionir lain yang layak dicatat sebagai pembuat peta Indonesia adalah Franz Wilheim Junghuhn (1804-1864). Pada saat pertama kali datang ke Indonesia, Junghuhn bertugas sebagai dokter tentara, kemudian ia tertarik pada surveying. Dari tahun 1835 sampai 1848, ia mendapatkan kesulitan untuk menjelajahi seluruh Jawa, tapi ia berhasil mengeluarkan hasil survei yang disajikan pada peta topografi, peta biologi, serta peta geologi Jawa. Pekerjaan ilmiah itu menghasilkan publikasi yang berjudul Java, Zyne gedaante, zyne platentooi en inwendigebouw (Java, the Shape, Flora and Its Inner Structures), 1853, dengan jumlah empat volume, dilengkapi peta Jawa dengan skala 1 : 450 ribu—suatu penyajian peta topografi pertama dalam bentuk berwarna. 

Selama Perang Dunia Kedua, 1942-1945, pihak Sekutu yang terdiri atas US Army Map Service (AMS), The Royal Australian Survey Corps (RASC), dan The British Directorate of Military Survey melakukan kompilasi atas semua seri peta Indonesia untuk melengkapi kekurangan informasi pada seri peta serta melakukan revisi dengan menggunakan foto udara. The Japanese Army juga melakukan penggambaran ulang atau pencetakan ulang sebagian besar dari seri peta topografi Indonesia. Bagian terpenting dari kontribusi The Japanese Army dalam pembuatan peta kepulauan Indonesia ini adalah pembuatan peta dari tahun 1943 sampai 1944 dengan foto udara untuk daerah Sumatra. Selain itu, The Japanese Army memublikasikan bermacam-macam peta topografi dan peta foto daerah Irianjaya, Sumatra, dan Kalimantan. 

Sejarah pembuatan peta ini, dari zaman Sriwijaya hingga sebelum kemerdekaan, karena itu, menunjukkan bagaimana peta bukan hanya tanda dan saksi sejarah, melainkan juga menjadi jejak penting untuk menyusuri bagaimana bangsa ini menyaksikan bentuk dirinya, baik secara fisik maupun dari segi kebudayaan. 

 Oleh: Hadwi Soendjojo*
*) Staf Pengajar Jurusan Teknik Geodesi FTSP ITB, Sekretaris Jenderal Asosiasi Kartografi Indonesia. artikel di muat dalam tempo online 

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...