Khalifah Umar Bin Khatab, Bekas Orang Jahiliyah yang Juara Gulat

Makam Umar bin Khattab
Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga menjadi khalifah kedua (634-644) dari empat Khalifah Ar-Rasyidin. Khalifah Umar Bin Khatab, Umar adalah bekas orang Jahiliyah yang sangat kuat karena seorang juara Gulat
 
Nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza, dilahir di Mekkah, dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy. Ayahnya bernama Khaththab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad yaitu Al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan antara yang haq dan bathil.

Keluarga Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal, karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.

Sebelum memeluk Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar mengubur putrinya hidup-hidup. Sebagaimana yang ia katakan sendiri, “Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku”.

آآMabuk-mabukan juga merupakan hal yang umum dikalangan kaum Quraish. Beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali. Tetapi, setelah masuk Islam, belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.

أمربنقتتپ

Memeluk Islam
Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi Muhammad SAW, Umar mengambil posisi untuk membela agama tradisional kaum Quraish (menyembah berhala). Pada saat itu Umar adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap pemeluknya.

Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu’aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya.
Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya.

Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur’an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.

Umar adalah salah seorang yang ikut pada peristiwa hijrah ke Yatsrib (Madinah) pada tahun 622 Masehi. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Ia adalah salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW

Pada tahun 625, putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad.

Kematian Muhammad SAW
Setelah sakit dalam beberapa minggu, Nabi Muhammad SAW wafat pada hari senin tanggal 8 Juni 632 (12 Rabiul Awal, 10 Hijriah), di Madinah.

Persiapan pemakamannya dihambat oleh Umar yang melarang siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Ia berkeras bahwa Nabi tidaklah wafat melainkan sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali sewaktu-waktu. (Hayatu Muhammad, M Husain Haikal)
Abu Bakar yang kebetulan sedang berada di luar Madinah, demi mendengar kabar itu lantas bergegas kembali. Ia menjumpai Umar sedang menahan muslim yang lain dan lantas mengatakan.

“Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah mati. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati.”

Abu Bakar kemudian membacakan ayat dari Al Qur’an :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (surat Ali ‘Imran ayat 144)

Umar lantas menyerah dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Kemudian setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar ditunjuk menggantikannya.

Menjadi khalifah
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).

Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.

Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk salat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk salat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia salat.

Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.

Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.

Kematian
Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Fairuz adalah salah seorang warga Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara digdaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.

Semasa Umar masih hidup Umar meninggalkan wasiat yaitu:
  • Jika engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya.
  • Bila engkau hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
  • Bila engkau hendak memuji seseorang, pujilah ALLAH SWT. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain ALLAH SWT.
  • Jika engkau ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia. Sebab apabila engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
  • Bila engkau bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiplah untuk mati. Karena jika engkau tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi ,dan penuh penyesalan.
  • Bila engkau ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali dengan mencarinya
TERBUNUHNYA KHALIFAH UMAR

Orang yang membunuh Umar adalah seorang Majusi bernama Abdul Mughirah yang biasa dipanggil Abu Lu’lu’ah. Disebutkan bahwa ia membunuh Umar karena ia pernah datang mengadu kepada Khalifah Umar tentang berat dan banyaknya kharaj (pajak) yang harus dia keluarkan, tetapi Khalifah Umar menjawab, “Kharajmu tidak terlalu banyak.” Dia kemudian pergi sambil menggerutu, “Keadilannya menjangkau semua orang kecuali aku.” Ia lalu berjanji akan membunuhnya.

Dipersiapkanlah sebuah pisau belati yang telah diasah dan diolesi dengan racun -orang ini adalah ahli berbagai kerajinan- lalu disimpan di salah satu sudut masjid. Tatkala Khalifah Umar berangkat ke masjid seperti biasanya menunaikan shalat subuh, langsung saja ia menyerang. Dia menikamnya dengan tiga tikaman dan berhasil merobohkannya. Kemudian setiap orang yang berusaha mengepung dirinya diserangnya pula. Sampai ada salah seorang yang berhasil menjaringkan kain kepadanya. Setelah melihat bahwa dirinya terikat dan tidak bisa berkutik, dia membunuh dirinya dengan pisau belati yang dibawanya.

Itulah berita yang disebutkan para perawi tentang pembunuhan Umar Radhiyallahu ‘anhu. Barangkali di balik peristiwa pembunuhan ini terdapat konspirasi yang dirancang oleh banyak pihak di antaranya orang-orang Yahudi, Majusi, dan Zindiq. Sangat tidak mungkin per¬buatan kriminal ini dilakukan semata-mata karena kekecewaan pribadi karena banyaknya kharoj yang harus dikeluarkannya. Wallahu a’lam.

Ketika diberitahukan bahwa pembunuhnya adalah Abu Lu’lu’ah, Khalifah Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku Muslim.” Umar kemudian berwasiat kepada putranya, “Wahai Abdullah, periksalah utang-utangku!”
Setelah dihitung, ternyata Umar mempunyai utang sejumlah 86.000 dirham. Khalifah Umar lalu berkata, “Jika harta keluarga Umar sudah mencukupi, bayarlah dari harta mereka. Jika tidak mencukupi, pintalah kepada bani Addi. Jika harta mereka juga belum mencukupi, mintalah kepada Quraisy.” Selanjutnya Umar berkata kepada anaknya, “Pergilah menemui Ummul Mu’minin Aisyah! Katakan bahwa Umar meminta izin untuk dikubur berdampingan dengan kedua sahabatnya (maksudnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu).” Mendengar permintaan ini, Aisyah Radhiyallahu ‘anha menjawab, “Sebetulnya tempat itu kuinginkan untuk diriku sendiri, tetapi biarlah sekarang kuberikan kepadanya.” Setelah hal ini disampaikan kepadanya, Umar langsung memuji Allah.

Umar Menunjuk Salah Seorang Dari Ahli Syura
Sebagian sahabat berkata kepada Umar, “Tunjuklah orang yang engkau pandang berhak menggantikanmu.” Umar kemudian menjadi¬kan urusan ini sepeninggalnya sebagai hal yang disyurakan antara enam orang, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhum. Umar berkeberatan menunjuk salah seorang di antara mereka secara tegas. Selanjutnya Umar berkata, “Saya tidak menanggung urusan mereka semasa hidup ataupun sesudah mati. Jika Allah menghendaki kebaikan buat kalian, Allah akan menghimpun urusan kalian pada orang yang terbaik di antara mereka sebagaimana Allah telah menghimpun kalian pada orang yang terbaik di antara kalian sesudah Nabi kalian.”

Dengan demikian, Umar merupakan orang pertama yang membentuk “tim” dari para sahabat dan dinamakan dengan Ahli Syura kemudian menyerahkan urusan khalifah sepeninggalnya kepadanya. Dengan demikian, mereka ini merupakan “Lembaga Politik” tertinggi dalam pemerintahan.

Bagaimana berlangsungnya pemilihan Utsman?
Ahli Syura yang telah ditunjuk oleh Umar tersebut mengadakan pertemuan di salah satu rumah guna membahas masalah ini. Sementara itu,Thalhah berdiri di pintu rumah guna menjaga dan melarang orang-¬orang untuk memasuki pertemuan tersebut. Dalam syura diperoleh kesepakatan bahwa tiga orang di antara mereka telah menyerahkan masalah khalifah kepada tiga orang lainnnya. Zubair menyerahkannya kepada Ali, Sa’ad menyerahkannya kepada Abdurrahman bin Auf, sedangkan Thalhah memberikan haknya kepada Utsman bin Affan.

Abdurrahman bin Auf berkata kepada Utsman dan Ali, “Siapa¬kah di antara kalian berdua yang melepaskan diri dari perkara ini maka kepadanya akan kami serahkan!” Keduanya diam tidak mem¬berikan jawaban. Abdurrahman lalu berkata, “Sesungguhnya, aku meninggalkan hakku terhadap perkara ini dan merupakan kewajibanku kepada Allah dan Islam untuk berusaha guna mengangkat orang yang paling berhak di antara kalian berdua.” Keduanya menjawab, “Ya.” Abdurrahman bin Auf kemudian berbicara kepada masing-masing dari keduanya sambil menyebutkan keutamaan yang ada pada keduanya. Ia lalu mengambil janji dan sumpah, “Bagi siapa yang diangkat, ia harus berlaku adil dan siapa yang dipimpin harus mendengar dan taat.” Keduanya menjawab, “Ya.” Mereka kemudian berpisah.

Setelah itu, Abdurrahman bin Auf meminta pendapat dari khalayak ramai tentang kedua orang (calon khalifah) ini, sebagaimana ia juga meminta pandangan dari para tokoh dan pimpinan mereka, baik secara bersamaan maupun terpisah, dua-dua, sendiri-sendiri, atau berkelompok, secara sembunyi ataupun terang-terangan. Bahkan kepada para wanita yang bercadar, anak-anak di berbagai perkantoran, orang-orang Arab Badui, dan para pendatang yang datang ke Madinah. Proses (hearing) ini dilakukannya selama tiga hari tiga malam sampai akhirnya didapat kebulatan suara yang menghendaki agar Utsman bin Affan didahulukan kecuali dua orang, yaitu Ammar bin Yassir dan Miqdad, yang menghendaki agar Ali didahulukan, tetapi kemudian kedua orang ini bergabung kepada pendapat mayoritas.

Pada hari keempat, Abdurahman bin Auf mengadakan perte¬muan dengan Ali dan Utsman di rumah anak saudara perempuannya, Musawwir bin Makhramah. Dalam pertemuan ini, Abdurahman bin Auf menjelaskan, “Setelah kutanyakan pada orang-orang tentang Anda berdua, kudapati tidak seorang pun di antara mereka yang menolak Anda berdua.” Abdurahman bin Auf kemudian keluar bersama keduanya menuju masjid dan mengundang orang-orang Anshar dan Muhajirin sampai mereka berdesakan di masjid. Abdurahman bin Auf naik ke mimbar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyam¬paikan pidato dan berdo’a panjang sekali. Dalam pidatonya itu, ia mengatakan,

“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah menanyakan kepada kalian secara tersembunyi dan terang-terangan tentang orang yang paling kalian percaya dapat mengemban amanat (khalifah), lalu aku tidak melihat kalian menghendaki selain dari kedua orang ini, Ali atau Utsman. Karenanya, berdirilah dan kema¬rilah, wahai Ali.”
Setelah Ali berdiri dan mendekatinya, Abdurrahman bin Auf menjabat tangan Ali seraya berkata, “Apakah kamu berbaiat kepadaku (untuk memimpin) atas dasar Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya, perbuatan Abu Bakar dan Umar?” Ali menjawab, “Tidak, tetapi sesuai usaha dan kemampuanku untuk itu.”

Abdurrahman kemudian melepas tangannya lalu berkata, “Berdirilah dan kemarilah, wahai Utsman. Ia kemudian menjabat tangan Utsman seraya berkata, “Apakah kamu berbaiat kepadaku (untuk memimpin) atas dasar Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya, perbuatan Abu Bakar dan Umar?” Utsman menjawab, “Ya.”
Abdurrahman kemudian mengangkat kepalanya ke arah atap masjid dan meletakkan tangannya di tangan Utsman seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah melepaskan amanat yang terpikulkan di atas tengkukku dan telah kuserahkan ke atas tengkuk Utsman.” Orang-orang pun kemudian berdesakan membaiat Utsman di bawah mimbar. Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang pertama membaiatnya. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ali merupakan orang yang terakhir membaiatnya.

Beberapa Ibrah
Pertama, telah kita ketahui bahwa tindakan pertama yang dila¬kukan oleh Umar Radhiyallahu ‘anhu adalah memecat Khalid bin Walid. Kebanyakan penulis kontemporer telah melakukan kesalahan dalam menanggapi masalah pemecatan ini. Mereka menjadikannya bahan untuk menggugat kedudukan Khalid, padahal penafsiran dari pemecatan ini dapat dilihat dengan jelas dalam tindakan Umar sendiri dalam ucapan yang diucapkan tentang Khalid dan dalam pujian yang disampaikannya kepada Khalid. Seperti telah kami sebutkan, Umar berkata kepada Khalid,

“Demi Allah, wahai Khalid, sesungguhnya engkau sangat ku¬muliakan dan sangat kucintai.” Umar kemudian menulis surat ke berbagai wilayah, menjelaskan sebab pemecatan Khalid bin Walid, “Sesungguhnya, aku tidak memecat Khalid karena kebencian dan tiduk pula karena pengkhianatan, tetapi aku memecat¬nya karena mengasihani jiwa-jiwa manusia dari kecepatan se¬rangan-serangannya dan kedahsyatan benturan-benturannya. ”
Ketika diberi tahu tentang sakitnya Khalid, Khalifah Umar yang waktu itu berada di suatu tempat langsung pergi ke tempat Khalid di Madinah dengan menempuh perjalanan selama semalam, padahal biasanya ditempuh selama tiga hari. Ketika Umar tiba di tempat tersebut, Khalid sudah wafat, lalu Umar mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” dengan penuh kesedihan. Umar kemudian duduk di pintu rumah Khalid sampai selesai pengurusan jenazahnya. Ketika kematiannya ditangisi oleh sejumlah wanita lalu dikatakan kepada Umar, “Tidakkah engkau mendengarnya? Mengapa engkau tidak melarang mereka?” Umar menjawab, “Tidaklah apa-apa wanita-wanita Quraisy menangisi Abu Sulaiman selama tidak meratapi dan bukan karena kecemasan.”

Ketika mengantar jenazahnya, Umar melihat seorang wanita Muslimah menangisinya. Umar lalu bertanya, “Siapa orang ini?” Dika¬takan kepadanya, “Ibunya.” Umar berkata penuh keheranan, “Ibunya? Itu sungguh mengagumkan (tiga kali)!” Umar kemudian berkata, “Apakah ada wanita lain yang melahirkan orang seperti Khalid?”
Kedua, teks yang kami sebutkan di atas menegaskan bahwa Khalid meninggal dan dikebumikan di Madinah. Ini merupakan pen¬dapat sebagian ahli sejarah. Akan tetapi, jumhur memandang bahwa sebenarnya Khalid meninggal dan dikuburkan di Hamsh (Suriah). Pendapat yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wan-Nihayah. Sebab, menurut riwayat yang kuat, setelah dipecat oleh Umar, Khalid melakukan ibadah umrah kemudian kembali ke Syam dan menetap di Syam sampai meninggal pada tahun 21 Hijriah.

Demikianlah sikap Umar yang selalu memuji Khalid, baik di waktu masih hidup maupun sesudah kematiannya. Ibnu Katsir meriwa¬yatkan dari al-Wakidi bahwa Umar pernah melihat rombongan haji datang dari Hamsh lalu ia bertanya, “Adakah berita yang harus kami ketahui?” Mereka menjawab,”Ya, Khalid telah wafat.” Umar kemudian mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,’ lalu berkata, “Demi Allah, ia sangat mahir dan tepat menebas tengkuk-tengkuk musuh. Ia adalah seorang tokoh yang tepercaya.”
Pujian Umar kepada Khalid tersebut tidak bertentangan dengan sebagian sikap yang bersifat ijtihadiah yang memungkinkan terjadinya perbedaan antara keduanya kemudian masing-masing dari keduanya bertindak sesuai pandangan yang diyakininya.

Sebaiknya mereka yang menggugat kedudukan Khalid karena sikap Umar terhadapnya atau orang-orang yang menggugat kedudukan Umar karena sikap tersebut, mereka memahami permasalahan dari segala seginya dan membedakan antara sikap ijtihadiah yang dijamin mendapat pahala betapapun hasilnya dan penyimpangan pemikiran atau perilaku yang tidak mungkin dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga, di antara hal paling menonjol yang dapat dicatat oleh setiap orang yang memperhatikan Khalifah Umar ialah kerja sama yang bersih dan istimewa antara Umar dan Ali Radhiyallahu ‘anhum. Dalam khilafah Umar, Ali menjadi mustasyar awwal (penasihat pertama) bagi Umar dalam semua persoalan dan problematika. Setiap kali Ali mengusulkan suatu pendapat, Umar selalu melaksanakannya dengan penuh kerelaan sehingga Umar pernah berkata, “Seandainya tidak ada Ali, niscaya Umar celaka.”
Ali bin Abu Thalib dengan penuh keikhlasan dan kecintaan memberikan nasihat kepadanya dalam segala urusan dan persoalan. Seperti Anda ketahui bahwa Umar pernah meminta pendapatnya tentang keinginannya untuk berangkat sendiri memimpin pasukan guna memerangi orang-orang Persia, kemudian Ali menasihatinya dengan suatu nasihat yang mencerminkan kecintaannya kepada Umar. Ali menasihatinya supaya tidak berangkat, tetapi cukup dengan meng¬gerakkan roda peperangan dengan orang-orang Arab yang ada di bawah kekuasaannya. Diperingatkannya, jika ia berangkat, hal itu niscaya akan menimbulkan berbagai peluang yang lebih berbahaya daripada musuh yang akan dihadang-Nya itu sendiri.
Seandainya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menge¬mukakan bahwa khilafah sesudahnya harus diserahkan kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu, apakah mungkin Ali Radhiyallahu ‘anhu akan berpaling dari perintah Rasulullah tersebut dan mendukung orang-orang yang merampas haknya atau merampok kewajibannya dalam memegang khilafah dengan dukungan kerja sama yang demikian ikhlas dan konstruktif? Mungkinkah seluruh sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabaikan perintah Rasulullah tersebut? Mungkinkah semua sahabat itu telah bersepakat -terutama Ali- untuk tidak melak¬sanakan perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut?
Keempat, sebagaimana khilafah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu datang pada saat yang tepat, di mana tidak layak pada saat itu kecuali Abu Bakar, demikian pula khilafah Umar. Beliau menjadi orang yang paling tepat untuk memegang khilafah pada saat itu. Di antara hal yang paling mulia yang pernah dilakukan Abu Bakar ialah mengokohkan kembali Islam sebagai bangunan dan negara serta keyakinan di dalam jiwa, setelah terjadinya keguncangan menyusul kematian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Hal paling agung yang pernah dilakukan Umar ialah memperluas futuhat Islamiyah ke ujung negeri-negeri Per¬sia, Syam, dan Maghrib (Maroko). Membangun negeri-negeri Islam, membentuk berbagai diwan, dan mengokohkan pilar-pilar negara Islam sebagai negara peradaban yang paling kuat di permukaan bumi.
Ini menunjukkan sejauh mana hikmah Allah dalam memelihara para hamba-Nya dan mewujudkan sarana kebaikan dan kebahagiaan bagi mereka dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Kelima, kami mengatakan tentang cara pemilihan Khalifah Utsman sebagaimana yang telah kami katakan tentang Khalifah Umar. Menunjuk seorang pengganti dalam kekhalifahan (al-’ahdu bil-khalifah) merupakan proses yang ditempuh untuk Khalifah Umar dan Utsman. Perbedaan antara keduanya bahwa Abu Bakar menunjuk Umar secara langsung, sedangkan Umar menunjuk seorang penggantinya di antara enam orang yang menjadi anggota Majelis Syura kemudian menyerah¬kan pemilihannya kepada kaum Muslimin.
Seperti telah Anda ketahui, pemilihan Utsman di antara enam orang yang diajukan tersebut berlangsung dengan musyawarah dari keenam orang itu sendiri, kemudian dengan musyawarah dan baiat kaum Muslimin atau Ahlul Halli wal-’Aqdi. Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang di antara enam orang yang ditunjuk dan merupakan orang yang pertama membaiat Utsman Radhiyallahu ‘anhu.
Dengan demikian, kita mengetahui secara gamblang bahwa kaum Muslimin sampai periode ini masih merupakan satu jamaah. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mempermasalahkan urusan khilafah atau mempertanyakan siapakah orang yang paling berhak memegangnya? Yang ada hanyalah proses musyawarah dan pembahasan dalam setiap tuntutan untuk memilih khalifah secara syar’i dan sehat.
Apa pun usaha yang Anda kerahkan, sesungguhnya Anda tidak akan dapat menemukan, pada seluruh periode ini (khilafah Abu Bakar, Umar dan Utsman), adanya perdebatan atau diskusi tentang al-Qur’an atau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuk ataukah tidak. Anda pun tidak akan menemukan kritik atau tindakan menya¬lahkan cara yang ditempuh dalam proses pengangkatan ketiga khalifah tersebut.
Lalu, kapan dan atas dorongan apa terjadinya perpecahan yang telah memecah belah jamaah Muslimin menjadi dua kubu yang ber¬tentangan karena masalah khilafah, padahal selama tiga periode khilafah, mereka hidup bersatu dan bekerjasama secara rapi?

Masalah ini akan kami sebutkan tatkala membahas Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa beliau.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...